SAHARA " mari menggapai hidayah bersama sahara"

AtTamr Media Mengucapkan SELAMAT HARI RAYA IDHUL ADHA 1433 H BETEPATAN DENGAN 10 DZULHIJJAH 1433 H/ 26 0KTOBER 2012 MINAL AIDHIN WALF'IDZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN SEMOGA KITA TERMASUK GOLONGAN YANG BERUNTUNG..AMIN

Minggu, 07 Oktober 2012

Bakhil (pelit) adalah Sifat Tercela




            Bakhil (Pelit) Sifat Tercela =1=


وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا 
لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ 
مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali ‘Imran: 180)
Penjelasan beberapa mufradat ayat
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka …”

Para ulama ahli bahasa maupun ahli qira’ah berbeda dalam membaca bacaan وَلَا يَحْسَبَنَّ Apakah diawali dengan huruf ta’ وَلاَ تَحْسَبَنَّ atau dengan ya’ وَلَا يَحْسَبَنَّ.
Beberapa ulama dari negeri Hijaz dan Iraq, serta qira’ah Hamzah dan Abu Ja’far, membaca dengan ta’ وَلا تَحْسَبَنّ.
Pendapat yang mengawali bacaan dengan huruf ta’, mengartikan bahwa percakapan ditujukan kepada nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga maknanya adalah: “Sekali-kali janganlah engkau wahai Muhammad menyangka, bahwa orang-orang yang bakhil…”
Sedangkan ulama yang lain seperti Ibnu Katsir, Abu ‘Umar, Nafi’, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, dan Al-Kasai’, semuanya sepakat membaca dengan ya’ وَلَا يَحْسَبَنّ. Namun di antara mereka ada yang membaca dengan mengkasrah huruf sin, dan ada yang membaca dengan memfathah huruf sin. Adapun yang membaca dengan mengawali huruf ya’, percakapan ditujukan kepada orang-orang yang bakhil. Sehingga maknanya adalah: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka…” (Tafsir Ath-Thabari dan Zadul Masir)
Demikian pula dalam menerangkan makna “orang-orang yang bakhil” dalam ayat ini, siapakah mereka? Para ulama juga berbeda pendapat.
Pendapat pertama menerangkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan harta, tetapi mereka bakhil (menahan diri) dalam menginfaqkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menunaikan (mengeluarkan) zakatnya. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhuma, riwayat Abu Shalih dari Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma, Abu Wa’il, Abu Malik, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi pada sebagian riwayat.

Pendapat kedua, mereka adalah orang-orang Yahudi. Mereka bakhil yaitu tidak mau menjelaskan kepada manusia tentang apa saja yang ada dalam Taurat, juga tentang kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta sifat-sifatnya. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma dan Mujahid rahimahullahu.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu mengatakan, dari dua pendapat tersebut yang benar adalah pendapat pertama. Yaitu pendapat yang memaknai bakhil -dalam ayat ini- dengan makna, orang yang menahan diri (tidak menunaikan) zakat. Hal ini sesuai dengan apa yang nampak dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau menafsirkan makna “Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat,” beliau bersabda: “Bakhil itu adalah orang yang menahan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala (tidak mau menginfaqkan hartanya). Maka kelak di hari kiamat (harta tersebut) akan diubah menjadi seekor ular jantan yang ganas berbisa, dan dilingkarkan di lehernya.”
Pemaknaan ini juga sesuai dengan konteks ayat yang ada sesudahnya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’.” Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati orang-orang musyrikin dari kalangan Yahudi, mereka menanggapi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, berupa kewajiban menunaikan zakat, dengan pernyataan: “Sesungguhnya Dia miskin.”
Adapun makna bakhil, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, adalah manusia yang menahan hartanya (tidak memberikan/memenuhi) sesuatu dari haknya yang wajib (zakat, infaq fi sabilillah). Adapun menahan harta pada perkara yang tidak wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat, bukanlah kebakhilan.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu menerangkan: “Makna bakhil dalam ayat ini adalah mereka yang tidak mau menginfaqkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menunaikan zakatnya (menurut pendapat yang rajih dalam hal ini).”
سَيُطَوَّقُونَ
Akan dikalungkan.”

Ibnul Jauzi rahimahullahu mengatakan dalam kitab tafsirnya,
Zadul Masir, terdapat empat pendapat di kalangan para ulama dalam memaknai kalimat ini:

1. Harta yang dibakhilkan oleh manusia, akan diubah kelak di hari kiamat menjadi seekor ular (yang jahat dan berbisa). Dan ular tersebut akan dililitkan di lehernya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap orang yang tidak menunaikan (mengeluarkan) zakat hartanya, kecuali kelak pada hari kiamat harta tersebut akan diubah menjadi seekor ular jantan yang ganas berbisa, kemana pun dia (pemilik harta tadi) lari/menjauh darinya, dia (ular tersebut) senantiasa mengikutinya, hingga dililitkan di lehernya.” Pendapat ini diucapkan oleh Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu dan Muqatil rahimahullahu.
2. Akan dijadikan/dibuatkan bagi orang yang bakhil atas hartanya, kalung yang terbuat dari api neraka. Pendapat diucapkan oleh Mujahid dan Ibrahim rahimahumallah.
3. Dibebankan tanggung jawab bagi mereka yang bakhil atas hartanya untuk mendatangkannya kelak pada hari kiamat. Ibnu Abi Najih meriwayatkan hal ini dari Mujahid rahimahullahu.
4. Akan ditetapkan atas mereka amal pebuatan buruknya/dosa dari sebab kebakhilan terhadap hartanya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Hal ini serperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ
“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.” (Al-Isra’: 13)
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.”

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu: “Dalam ayat ini
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya dan tidak berlaku bakhil, sebelum mereka mati. Dan meninggalkan (membiarkan semua yang pernah mereka miliki) warisan kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Serta tidak ada yang akan memberikan manfaat kecuali apa yang telah mereka infaqkan.”
Ayat ini menjadi penjelas sekaligus menyanggah anggapan manusia yang menyatakan bahwasanya harta yang diinfaqkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, zakat yang dikeluarkan, adalah harta yang hilang dengan sia-sia serta mengurangi jumlah yang ada. Sementara Allah Dzat Yang Maha pemberi rezeki dan Yang Maha mengetahui kehidupan hamba hamba-Nya mengabarkan, sesungguhnya harta yang diinfaqkan di jalan-Nya dan zakat yang dikeluarkan oleh hamba-Nya, akan bertambah berlipat ganda dan tidak akan hilang sia-sia. Bahkan yang tersisa di tangan manusia itulah yang akan hilang lenyap. Seperti yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:  

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)
Penjelasan ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini termasuk salah satu ayat yang menerangkan apa akibat yang akan dialami mereka yang bakhil (enggan menunaikan zakat) atas harta yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan, kelak di Hari Kemudian. Mereka menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi dirinya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan setelah menyebutkan ayat di atas: “Sekali-kali janganlah orang yang bakhil menyangka, bahwa upaya mengumpulkan harta (tidak mau menafkahkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menunaikan zakat), akan memberikan manfaat bagi dirinya. Bahkan perbuatan tersebut akan memadharatkan/mencelakakan dirinya, baik pada agamanya dan bisa jadi dalam perkara dunianya.” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, 1/409)

Asy Syaikh As Sa’di rahimahullahu menerangkan, dalam kitab tafsirnya, Taisir Karimir Rahman:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka, yaitu orang-orang yang menahan apa yang ada di sisi mereka dari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dari karunia-Nya, berupa harta, pangkat (jabatan), ilmu, dan lain sebagainya dari segala macam anugerah dan kebaikan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk mendermakan/mengorbankan pada perkara yang tidak memadharatkan bagi hamba-hamba-Nya. Kemudian dengan hal itu mereka bakhil dan menahannya (tidak mau memberi, mendermakan, menunaikan zakat, pen.). Menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya perbuatan itu buruk bagi mereka. Buruk dalam hal agama maupun dunianya, dalam waktu yang segera (di dunia) maupun yang akan datang (di akhirat).

Tidak ada komentar: